Jumat, 17 Desember 2010

Ekonomi BROADBAND

Ekonomi BROADBAND
Harian Bisnis Indonesia
Edisi Minggu, 19 Desember 2010
by RULLY OKTAVIANTO

Sebuah guyonan Almarhum Gus Dur bercerita tentang penggunaan telepon genggam. Alkisah untuk memudahkan komunikasi, Gus Dur memberikan telepon genggam kepada sejumlah kiai NU.
Suatu ketika, Gus Dur menyuruh asistennya untuk mengirim SMS kepada salah satu kiai. Lama ditunggu, tak ada balasan. Akhirnya Gus Dur langsung menelepon untuk bertanya ada apa gerangan.
Si Kiai menjawab, “Waduh Gus, saya engga nulis di handphone ini, soalnya tulisan saya jelek. “Pernahkan terbersit di benak anda, betapa menyatunya kehidupan kita sekarang dengan penggunaan perangkat telekomunikasi? Perhatikan sekeliling Anda, hampir semua orang kini menggunakan telepon genggam dalam berbagai model.
Data pun mendukung pengamatan ini. Menurut Digital Media Across Asia (2009), pascaderegulasi industri telekomunikasi pada 2000, Indonesia merupakan pasar pemakaian telepon genggam terbesar ketiga di Asia, setelah China dan India.
Bukan hanya untuk melakukan panggilan telepon, melainkan konsumen di Indonesia juga secara regular menggunakan telepon genggam untuk keperluan transaksi perbankan dan bisnis.
industri telepon genggam pun telah melahirkan subindustri dan menciptakan lahan pekerjaan yang menjamur, mulai dari kios yang menjual kartu SIM, aksesori telepon genggam, layanan content seperti ringtone, MP3, games, dan lain-lain, sampai yang menawarkan layanan perbaikan maupun upgrade system telepon genggam.
Beberapa tahun terakhir, pasar juga ditandai dengan maraknya smartphone, terutama blackberry dan iPhone. Masuknya teknologi 3G diikuti 3.5G membuka pangsa pasar mobile internet, ditambah tawaran harga bersaing dari para operator, memanjakan konsumen dengan berbagai pilihan atraktif, sesuai dengan kondisi kocek.
Namun, pada saat penggunaan telepon genggam berkembang luar biasa, tidak demikian dengan penggunaan internet, terutama broadband.
Memang benar bahwa dalam periode 8 tahun (2000 – 2008) jumlah pengguna internet di negeri ini naik dari 2 juta menjadi 25 juta, tetapi bila dilihat dari sudut pandang makro, angka itu belum mencapai 10% dari total populasi.
Kemudian, memang benar bahwa jasa broadband tersedia di negeri ini, tetapi baru ada dua pemain besar di dalamnya: PT Telkom dan PT Indosat. Lantas apa yang bisa dibaca dari fakta-fakta yang telah dipaparkan diatas?
Satu, betapa kita belum menyadari pentingnya arti konvergensi teknologi telekomunikasi. Sudah bukan saatnya lagi untu memilah-milah megaindustri tersebut menurut nama (entah teknologi informasi, telekomunikasi, broadcasting dan sebagainya) atau menurut peranti (telepon genggam, televisi, radio atau internet).
Dalam era konvergensi teknologi telekomunikasi, aplikasi data, suara dan gambar melalui medium internet merupakan suatu kesatuan. Makin besar luas jaringan pendukung, makin konvergen pula layanan bagi pengguna.
Dua , dalam era globalisasi, konvergensi teknologi bisa berarti peluang bisnis dan investasi, karena kemajuan teknologi, bila didukung infrastruktur memadai, dapat turut mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Negara tetangga Malaysia, misalnya, jeli melihat kesempatan dengan mndirikan sentra teknologi Cyberjaya, di luar ibu kota kuala lumpur , sejak 1997. Didesain sebagai kompleks multimedia dengan infrastruktur teknologi canggih. Visi pemerintah Malaysia adalah menjadikannya lokasi aktraktif bagi perusahaan-perusahaan dunia untuk menanam modal atau membuka usaha di sana.
Target Malaysia, saat ini, sekurang-kurangnya 50% rakyatnya haruslah sudah memiliki akses internet cepat melalui broadband. Bandingkan dengan satu lagi Negara tetangga kita, Singapura yang 80% penduduknya telah memiliki akses broadband. Idak perlu seorang cendekiawan untuk memahami mengapa per baikan  infrastruktur broadband tidak kalah pentingnya dengan reduksi birokrasi njelimet, yaitu karena sama-sama mengurangi the cost doing business
Jika ada kabar gembira, mungkin datang dari kabar bahwa pembangunan infrasturktur broadband telah masuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah dari Bandan Perencanaan dan Pembangunan (Bappenas) pada sector telekomunikasi.
Mendorong dan Memoles
Yang perlu dilakukan pihak swasta dan masyarakat pada umumnya, adalah mengawal agar rencana itu cepat terwujud dengan baik. ini terutama penting, bila pemerintah serius mengejar realisasi pengembangan industri kreatif, yang dirancang bangun Kementerian Perdagangan.
Salah satu potensi yang ada terlihat dari industri game yang berkembang di Indonesia. Banyak perusahaan asing yang melakukan outsourcing ke studio-studio kecil di Indonesia. Meyewa tenaga lokal untuk mengembangkan desain konsep, model 3 dimensi maupun coding.
Penyediaan layanan yang sama juga berlaku di bidang animasi, dan bukan tak mungkin, jasa arsitektur. White-collar outsourcing, kalau boleh menyebutkan demikian.
Brain power kita sudah diakui. Tinggal bagaimana memolesnya dan memperluas inovasi layanan dengan nilai tinggi. Lagi-lagi mengingat sifat industri yang high tech, maka ini semua harus didukung oleh jaringan infrastruktur broadband yang kuat. Juga, koridor peraturan hukum dan perundang-indangan haruslah dipastikan turut mendorong perkembangan industri, bukan justru mengekang.
Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, setiap peningkatan 10% dari penetrasi broadband memberikan dampat pertumbuhan GDP sebesar 1,38% seperti dimuat di Harian Bisnis Indonesia (3/12/2010 halaman 13).
Bila itu terjadi, maka Indonesia akan makin kuat memosisikan diri sebagai satu-satunya ekonomi Asia Tenggara dalam G20, dan dapat memberanikan diri bersaing dengan dua Negara Asia lainnya – China dan India.
Tingkat pertumbuhan kurang lebih 6% pada tahun ini dapat jadi pijakan untuk loncatan lebih besar pada masa pemulihan pascakrisis ekonomi global. Momennya kini di depan mata, jangan sampai terlewatkan.

RULLY OKTAVIANTO
Handphone     : 0811912222
PIN BB          : 216642B1
Twitter           : @RullyOK
Website         : http://www.rullyoktavianto.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar